Searching...
Facebook Twitter Google+ RSS

Konsep "New Global Economy"

3/07/2013
Pemikiran Ekonomi Islam dan “New Global Economy”

A. PENDAHULUAN
The globalization has made challenges of the world economies.That mean was the concept of the “New Global Economy”, which it made by industrial countries and all countries around the world are being induced to liberalize their economies. Islam as the religion has regulate all of the human life. In this section author will examines about “the New Global Economy” concept, and views of a number of classical Muslim. This brings us to the question of whether the concepts of integration and liberalization had any place in Islamic thought and account in Islamic economic analysis.

B. EKONOMI ISLAM DAN “NEW GLOBAL ECONOMY”
Untuk lebih memahami konsep ekonomi islam dan konsep New Global Economy , saya membagi materi ini menjadi sepuluh poin penting yang akan menunjukan kelebihan dan kelemahan dari konsep “New Global Economy” . Berikut penjelasannya:

1. Integrasi dalam Perekonomian Dunia
Konsep “New Global Economy” pada dasarnya merupakan versi daur ulang dari “Neoclassical Economics” . Bermula dari sistem ekonomi sosialis dan “Keynesian Economics” yang berkembang pada tahun 1950-an. Namun pada tahun 1970-1980, seiring dengan terjadinya krisis kesejahteraan Negara, system ekonomi sosialis runtuh. Bersamaan dengan itu, “Keynesian Economics” juga tidak dapat bertahan dikarenakan adanya stagflasi (inflasi yang tinggi dan berkepanjangan) pada tahun 1970-an dan ketidakmampuan pemerintah mengatasi pengangguran. Sehingga mulailah kebangkitan dari “Neoclassical Economics”.

Neoclassical Economics mempercayai bahwa diperlukan penghapusan kontrol negara dan peng-liberalisasi-an pasar untuk pengembangan yang lebih cepat. Pemerintah hanya dapat memainkan peran kecil dalam ekonomi. New Global Economy berusaha memperkuat Neoclassical Economics dan menekankan pada perdagangan yang liberal, dengan pergerakan yang bebas atas modal, pekerja, teknologi, dan informasi.

IMF dan World Bank telah mengadopsi pandangan ini, dan secara tidak langsung seluruh negara di dunia juga dipaksa untuk mengadopsi pandangan New Global Economy. Negara-negara yang tidak mau mengadopsi pandangan itu akan tersingkirkan dan secara otomatis akan merusak “keuntungan jangka panjang” mereka sendiri. Disamping itu, “New Global Economy” tidak hanya mengadopsi tujuan untuk mengintegrasikan ekonomi dunia melalui liberalisasi, tetapi juga telah melewati batasan-batasan dari “Neoclassical Economics” dengan turut mempertimbangkan beberapa variabel sosial-ekonomi dan politik yang penting untuk mempromosikan peningkatan pertumbuhan.

2. Islam dan konsep “New Global Economy”
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan sebagai satu kesatuan, namun menjadi terbagi-bagi karena perbedaan mereka. Perebutan kekuasaan, praduga, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah penyebab terpisahnya umat manusia. Sehingga hal ini menjadi dasar tujuan utama agama Islam untuk memepersatukan mereka semua.

Ada beberapa cara untuk mencapai persatuan umat manusia. Salah satunya, yaitu dengan menciptakan pemahaman yang lebih baik diantara orang-orang melalui interaksi yang lebih baik dan kerjasama dengan tujuan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi praduga yang berlaku, kesalah pahaman, dan konflik. Namun peng-integrasi-an ekonomi bisa sangat sulit diwujudkan tanpa penghapusan dari semua pembatas buatan (kewarganegaraan, ras, dan warna kulit) yang terjadi karena liberalisasi.

3. Peran Keadilan dalam Peng-integrasi-an
Bersesuaian dengan komitmen ini mengenai keadilan dan kesetaraan, Islam mencoba meng-integrasi-kan sistem ekonomi yang berbeda di bawah pengaruhnya dengan keadilan dan kesetaraan selama masa kejayaan peradaban Islam.

Sebagai contoh pada masa zaman dahulu, seluruh wilayah di bawah pemerintahan Islam menjadi pasar umum yang luas dengan pajak ringan, perkembangan monetisasi (proses memberi nilai jual suatu barang) yang baik, serta pergerakan yang bebas dan aman atas barang, modal, dan manusia. Hal ini memberikan dorongan untuk perdagangan yang meluas hingga Maroko dan Spanyol di wilayah barat, India dan China di wilayah Timur, Asia Tengah di wilayah Utara, dan Afrika di wilayah Selatan. 

Perluasan perdagangan ini ditandai tidak hanya oleh dokumen sejarah yang ada, namun juga oleh uang koin Muslim dari abad ke-7 sampai abad ke-11 yang ditemukan melalui penggalian di negara-negara seperti Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, Kepulauan Inggris, Skotlandia, dan negara-negara yang berada di wilayah perbatasan kerajaan Islam. Pertambahan penghasilan dan keuntungan dari pengembangan tersebut tidak hanya terjadi dan dimonopoli oleh satu negara, melainkan terbagi rata kepada semua orang.

4. Keadilan VS Negosiasi
Tujuan dari peng-integrasi-an ekonomi dunia adalah hal wajar bagi Islam dan “New Global Economy” . Namun, strategi pencapaiannya sungguh berbeda. Islam mengedepankan keadilan berdasarkan kriteria moral, sedangkan “New Global Economy” mengandalkan negosiasi berdasarkan pada keuntungan pribadi.
Pada pemahaman tentang keadilan, semua agama besar di dunia, termasuk Islam, menegaskan bahwa pertimbangan nilai haruslah berdasarkan pada kriteria moral yang Ilahi.

Ketidak mampuan “Neoclassical Economics” untuk melakukan pertimbangan nilai, membuatnya kehilangan kemampuan dasar untuk menyadari keadilan. Jika pertimbangan nilai yang berdasarkan pada kriteria moral dihilangkan, maka satu-satunya cara untuk menentukan mana benar dan mana salah hanyalah berdasarkan keuntungan pribadi, dimana semua pihak akan mencoba mencapainya melalui negosiasi. Dalam negosiasi seperti itu, pada dasarnya yang paling kaya dan kuatlah yang pada akhirnya dapat meraup keuntungan terbesar dikarenakan kekuatan ekonomi dan politik mereka.

5. Pendekatan Multidisiplin
Terdapat beberapa aspek kehidupan manusia yang tidah dapat dipisahkan dan menjadi panutan bagi ilmu ekonomi sebagai bagian dari kehidupan, sehingga pada konsep “New Global Economy” pertimbangan variabel sosial dan politik sangatlah dibutuhkan.

6. Kontribusi Ilmuwan-ilmuwan Muslim
Pemikiran Islam mengenai penyatuan umat manusia dan penyatuan kehidupan manusia ter-refleksi-kan dalam pemikiran ekonomi Islam pada periode awal sejarah Islam hingga mencapai puncaknya pada masa Ibn Khaldun (808H/1406M) yang mengajarkan model keselarasan antara aspek sosial-ekonomi dan politik. Ibn Khaldun mencoba menjelaskan secara rasional mengapa kerjasama dan kebutuhan yang sama dapat mempercepat perkembangan. “sudahlah sangat diketahui dan tak bisa dipungkiri bahwa setiap individu tidaklah dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya secara sendiri-sendiri. Manusia harus bekerjasama dalam mencapainya. Keinginan yang dapat dipenuhi oleh sekelompok manusia melalui kerjasama berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan apabila individu melakukannya sendiri”.

Berawal dari pembagian tenaga kerja, sangat diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi.Apa yang berlaku bagi individual dan kelompok juga berlaku bagi Negara. Dia lalu mempelopori teori tentang perbandingan keuntungan yang merupakan dasar bagi teori modern tentang perdagangan internasional. Dia juga memberikan penjelasan ilmiah tentang mengapa perdagangan mampu mempercepat pengembangan. Dia berpendapat bahwa pengembangan tidak bergantung pada keberuntungan atau adanya tambang emas dan perak. Pengembangan justru bergantung pada aktivitas ekonomi dan pembagian tenaga kerja, yang secara langsung bergantung pada besarnya pasar dan peralatan. Namun, peralatan memerlukan pemeliharaan, yang dijelaskan olehnya sebagai “surplus“ setelah memenuhi keinginan orang lain.

Jadi di dalam konsep ini, baik ajaran Islam maupun pemikiran ekonomi Islam, ada alasan kuat untuk mendukung perdagangan antar negara karena hal itu dapat mendukung pertumbuhan dan menurunkan biaya hidup, yang kemudian membantu memastikan kesejahteraan. Karena itu, tidak ada pembenaran atas larangan perdagangan, yang mencegah penyatuan umat manusia. Ilmuwan Muslim telah mengadopsi pendekatan multidisiplin dalam analisis mereka dan tidak memfokuskan perhatian mereka hanya pada variabel ekonomi. Mereka mempertimbangkan kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Good governance, yang sekarang mulai diperhatikan oleh World Bank, merupakan komponen penting dari pendekatan multidisiplin yang digunakan ilmuwan Muslim ini. Oleh karena itu, penyatuan variabel sosial-ekonomi dan politik ke dalam analisis “New Global Economy” juga bukanlah hal yang baru bagi pemikiran ekonomi Islam.

7. Pengedepanan Keadilan dalam Pemikiran Ekonomi Islam
Baik Ibn Khaldun maupun pendahulunya menyadari secara bersamaan bahwa pembagian tenaga kerja dan keahlian tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama tanpa keadilan dan kejujuran dalam transaksi antar manusia. Para ahli hukum terkemuka sepanjang sejarah Muslim, memegang keadilan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses perkembangan.

Jika WTO tidak bisa menjamin keadilan dan kejujuran dalam perdagangan internasional, WTO tidak akan bisa sukses dalam mewujudkan tujuannya dalam meningkatkan peng-integrasi-an ekonomi dunia. Menciptakan pembatas buatan hanya akan menggagalkan tujuan untuk menyatukan umat manusia dan menciptakan kesejahteraan. Karena pada akhirnya negara-negara akan menyadari bahwa keuntungan dari perdangan tidak dibagi rata.

8. Keadilan dan “New Global Economy”
Pengangguran sudah menjadi salah satu masalah yang paling serius di kebanyakan negara berkembang dan sedikit saja peningkatan dalam pengangguran akan memperkeruh kehidupan sosial dan politik. Tidak adanya keadilan dalam paradigma “New Global Economy” telah mengakibatkan tekanan yang tidak semestinya dalam dunia ekonomi. Contoh ketidak adilan bisa dengan mudah dilihat dari fakta bahwa negara maju telah menekan negara penghasil minyak untuk meningkatkan pasokan minyak mereka dengan tujuan untuk menurunkan harga minyak mentah dunia. Hal ini dapat mengurangi pendapatan minyak dari negara penghasil minyak yang kemudian akan mengurangi kemampuan mereka untuk mengembangkan keuangannya.

9. Benih-Benih Kegagalan
Ketika negara “miskin” me-liberal-kan pasar mereka, negara “kaya” tetap secara tegas bersikap proteksionis, terutama di bidang seperti tekstil, pertanian, dan petrokimia. Karenanya, ketimpangan pendapatan terus meningkat di antara Negara “kaya” dan Negara “miskin”. Kegagalan pada pertemuan WTO di Seattle tahun 1999, dan protes brutal pada pertemuan IMF/World Bank di Prague, September 2000 dan pertemuan G8 di Genoa, Juli 2001 menjadi bukti terjadinya kegagalan dalam konsep “New Global Economy” . Para ahli ekonom juga menunjukkan bahwa alasan atas kacaunya pertemuan di Seattle bukanlah dikarenakan adanya ribuan demonstran yang tidak puas, melainkan sebagai buntut kegagalan atas Amerika dan Eropa dalam merespon masalah dari Negara-negara berkembang.

10. Tindakan di Masa Depan
Pelarangan perdagangan oleh negara maju bukanlah merupakan penghalang utama dalam percepatan pengembangan negara-negara Muslim. Tantangan terberat yang harus mereka hadapi adalah tingkat pendidikan dan teknologi dari orang-orang mereka yang rendah, Faktor lain yang juga penting dalam pengembangan ini adalah nilai dan institusi dari masyarakat itu sendiri , pijak politik yang berwenang, sistem ekonomi, dan pemerataan keadilan secara domestik. Lalu, perlindungan pada tahap awal pengembangan. Oleh karena itu, tidak perlu takut untuk menghadapi globalisasi karena merupakan sebuah tantangan dan juga kesempatan pengembangan negara.

C. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya umat Islam lah yang telah menjadi pencetus globalisasi khususnya dalam dunia ekonomi. Seluruh wilayah di bawah pemerintahan Islam menjadi pasar umum yang luas dan berkontribusi kepada pengembangan di segala bidang dan memberikan peningkatan dalam pendapatan masyaraktnya. Karena sudah jelas bahwa konsep New Global Economy memiliki kelemahan akibat tidak didasari pada nilai keadilan dan kejujuran. Liberalisasi yang dianutnya juga hanya akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan bagi negara-berkembang karena ketidak merataan keuntungan yang mana individu dari negara-negara maju yang akan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Jadi, tidak ada alasan untuk kita takut menghadapi globalisasi. Kita sudah seharusnya berjuang untuk keadilan, persatuan, dan juga tidak lupa untuk memastikan pengenalan perubahan politik, hukum, sosial dan ekonomi yang dibutuhkan untuk memanfaatkan sumber daya secara efektif sehingga kemudian dapat memenuhi tantangan globalisasi.

4 komentar :

  1. Wah, sebuah kajian yang persuasif terhadap Islam namun berdasar dan mungkin benar. Sayangnya, sulit rasanya utk menciptakan ekonomi global yang Islami (berlaku nilai keadilan dan Kejujuran).
    BTW, ke mana saja nih Kang Dirga, jarang update?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang, tapi setidaknya bisa dimulai dari diri sendiri. . .
      Kemarin dapet tugas buat berlibur di pedalaman bang :-d jadi gak bisa update. . .

      Hapus
  2. Belum tampak pendapat dan analisa yang meliputi semua poin penting diatas

    BalasHapus
  3. makasih buat pemikirannya... :)
    paling gk jd bahan referensi...

    BalasHapus